Minggu, 17 Mei 2015

Rasionalisme dalam Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Pada abad ke 13 di eropa sudah timbul system pilsafat yang boleh disebut merupakan keseluruhan.sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada abad ke 14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahulunya pilsfat modern. Yang menjadi dasar aliran ini adalah kesadaran atas yang individual yang kongkrit.
      Tak dapat dipungkiri zaman pilsafat modern telah dimulai,dalam era pilsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan pilsafat abad ke 20 munculnya  berbagai aliran pemikiran, salah satunya aliran Rasinalisme yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini

B. Rumusan masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah Rasionalisme dalam pendidikan islam
      Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
      Pengertian Rasionalisme,Sejarah pemikira Rasionalisme, Rasionalisme dalam Filsafat Islam, Pengertian Pendidikan Islam,Dasar-dasar Pendidikan Islam Tujuan Pendidikan Islam,  Pengetahuan Rasional dalam Pendidikan Islam














BAB II

A.    Rasionalisme
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi atau pikiran.Pemikiran yang hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani Kuno untuk pertama kalinya pada abad ke 6 M.[1]
Rasio, dalam pendidikan, erat hubungannya dengan  daya pikir,penalaran dan  akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio  tanpa dibedakan dari  penalaran , adalah kemampuan mental manusia yang bukan kemampuan  daya tanggap panca indera.
Dalam proses berpikir, rasio dan  akal budi atau daya pikir saling mempengaruhi meskipun masing-masing memiliki fungsi berbeda. Daya tanggap  mengambil alih kegiatan berpikir runtut tentang berbagai bukti pemikiran, yang kemudian masing-masing saling dihubungkan, dianalisis, dan dimengerti. Dalam hal ini rasio lebih mengarah pada realitas secara keseluruhan membentuk pengertian, dan berusaha membuat kaitan arti. Pengetahuan mengenai hubungan-hubungan persyaratan, kecerdasan dan intelegensi termasuk dalam daya pikir, sedangkan sikap hati-hati, kebijaksanaan, dan pengertian diperlukan dalam rasio. Meskipun daya tanggap sebagai intelegensi teoritis dan praktis sangat diperlukan manusia, serta daya tanggap sehat manusia juga dihargai di luar ajaran ilmu pengetahuan, kadang-kadang daya tanggap menghasilkan kesan buruk, di mana dalam berbagai lairan irasional yang sebagian besar tidak membedakan rasio dan daya tanggap, rasio dipertentangkan dengan jiwa.
Satu-satunya makhluk hidup yang dipandang paling tinggi (derajatnya), yakni manusia, dianggap memiliki jiwa rasional. Dengan jiwa rasionalnya, manusia mempu berpikir secara sadar, membuat norma sosial, serta menyusun kebijakan-kebijakan moral.[2]
Pemikiran rasional adalah pemikiran yang merupakan usaha manusia rasional dalam rangka melepaskan diri dari mitos. Dalam pengertian ini mitos dilawankan dengan logos(akal budi, rasio). Maka dapat dikatakan bahwa mitos itu adalah keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak berada dalam kontrol kesadaran dan rasio manusia.[3]
Filsafat lahir ketika manusia pertama kalinya berusaha menghilangkan mitos dan menggantinya dengan logos. Sebab usaha manusia rasional dimaksudkan sebagai usaha manuisa untuk meraih pengertian rasioal. Dengan kata lain sejak semula usaha manusia rasional bermaksud untuk menghilangkan mitos.
Rasionalisme adalah aliran, anggapan, atau teori filsafat yang menjunjung tinggi hasil pemikiran manusia tanpa memperdulikan pengalaman pribadi, fakta dan data empiris. Berdasarkan teori ini dapat dinyatakan bahwa pengetahuan manusia terbentuk dan terjadi dari akal atau rasio. Dalam hal ini, sumbangan yang dihasilkan oleh akal lebih menentukan dari pada sumbangan yang diberikan indera. Bahkan lebih jauh lagi kadang-kadang para penganut rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan manusia tergantung pada strukur bawaan (ide, kategori). Artinya konsep-konsep yang diperoleh pikiran manusia sejak ia dilahirkan di dunia, biarpun hanya sebagai bakat atau kemungkinan.
Benih-benih munculnya aliran rasionalisme dalam sejarah filsafat, sebenar nya dapat diacu dari pandangan yang mengatakan bahwa pikiran itu lengkap sepenuhnya pada diri sendiri. Pandangan inilah yang dikemudian hari mempengaruhi munculnya aliran neoplatonisme dan  idealisme.
Yang memberi dasar kepada rasionalisme ini adalah Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650), Yang juga disebut “Bapak Filsafat Modern”.[4]
Dalam hal ini, Descartes dalam mencari kebenaran filsafat dengan menggunakan metode Cogito. Mengenai hal ini tidak ada seorang pun yang dapat menipu kita, bahwa keraguan yang ada pada diri manusia bukanlah khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau akau berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada. Aku berada karena aku berpikir, suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi. Cogito (aku berpikir) adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas dan terpilah-pilah. Ciri khas kebenaran yang dapat dipastikan adalah jelas dan terpilah-pilah.


B.   Sejarah Pemikiran Rasional dalam Islam
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang ber-dasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman
peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menimbulkan perpecahan umat Islam menjadi dua golongan: Lahirnya aliran-aliran dalam Islam karena adanya per-soalan-persoalan teologi yang diawali adanya persoalah politik yang terjadi dalam pemerintahan Islam setelah Rasulullah wafat. Sebagai bukti sejarah adalah peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada tahun 656 M, di Madinah
Dalam bidang teologi, peristiwa Utsman bin Affan itu menimbulkan masalah iman dan kufur. Pertikaian yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damsyik, menganggap Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman bin Affan. Kedua pemimpin tersebut mencoba menyelesaikan pertikaian dengan jalan damai yaitu jalan hukum (arbitrase) yang biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.
Dalam hal ini, Khawarij memandang bahwa Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr ibn al-Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena dalam menyelesaikan persengketaaan tidak meng-gunakan jalan teologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi hukum zaman Jahiliyah. Dan dikatakan oleh kaum Khawarij keempatnya telah menyimpang dari hukum Allah yaitu menyisihkan surat al-Maidah ayat 44 :
Harun Nasution dalam hal ini, berpendapat bahwa“Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali ibn Abi Thalib yang berhasil tugasnya.[6]

Khawarij memahami ayat tersebut sebagai suatu ketentuan mutlak bagi keempat pemuda yang mengadakan arbitrase, yaitu tidak menentukan hukum sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an adalah suatu perbuatan dosa besar.
Persoalan orang berbuat dosa besar inilah yang melahirkan tiga aliran teologi besar dalam Islam, Pertama, aliran Khawarij yang menyatakan orang berbuat dosa besar adalah kafir atau murtad (apostate).[7]
 Dan suatu kewajiban bagi orang Islam untuk memerangi atau membunuhnya.

C. Rasionalisme dalam Filsafat Islam
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Pendekatan filosofis yang cocok dalam mempergunakan akal pikiran adalah pendekatan rasional.
Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan falsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung pada abad ke IV sebelum Kristen.
Dan filsafat ini mulai ber-kembang dengan pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra Harun al-Rasyid
Dalam sejarah filsafat Islam terdapat perkembangan tentang istilah rasionalisme. Rasionalisme Islam adalah suatu fenomena penggunaan akal sebagai sumber pengetahuan. Dalam filsafat Barat rasionalisme adalah aliran secara independen berdiri sebagai tesa terdahap perkembangan filsafat. Akan tetapi dalam filsafat Islam. Rasionalisme dipahami semata-mata dari sudut penggunaan akal dalam epistemologi.[8]

BAB III

A. Pengertian Pendidikan Islam
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal,cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.[9]
Dalam konteks Islam, istilah “pendidikan” lebih banyak dikenal dengan menggunakan term “at-tarbiyah, at-ta’lim, at-ta’dib dan ar-riyadha”. Term-term tersebut kalau dilihat teks dan konteksnya mempunyai makna yang berbeda, meskipun dalam hal-hal tertentu mempunyai kesamaan makna.
Drs. Muhaimin, M.A. dan Drs. Abdul Mujib dalam mem-berikan sebuah formulasi pendidikan Islam sebagai berikut :
Formulasi hakikat pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apa pun. Dengan berpijak pada kedua sumber itu diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakikat pendidikan Islam”[10]
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, lafal at-Tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu: pertama, raba - yarbu, yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiyu - yarbu dengan wazan (bentuk) khafiya - yakhfa, berarti menjadi besar. Ketiga, rabba - yarubba dengan wazan madda - yamuddu, berarti memperbaiki, menuntun, menjaga dan memelihara.[11]
Abdurrahman al-Bani menerangkan lebih lengkap sebagai-mana yang dikutip oleh Ahmadi yaitu; ditinjau dari asal bahasanya, istilah tarbiyah mencakup empat unsur yaitu :
1.    Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.
2.    Mengembangkan potensi di kalangan manusia yang beraneka macam (terutama akal budinya).
3.    Mengarahkan fitrah dan potensi manusia menuju kesempur-naannya.
4.    Melaksanakan secara bertahap sesuai dengan unsur per-kembangan anak.[12].

Berkaitan dengan ini Drs. Syahminan Zaini menjelaskan bahwa :
“Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam, agar terwujud (tercapai) kehidupan masyarakat yang makmur dan bahagia.[13]

At-Tarbiyah” diartikan oleh Musthafa al-Maraghi dengan dua bagian, yaitu
                     1.  Tarbiyah khalqyah, pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk.
                     2.  Tarbiyah Diniyah Tahdzibiyah, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.[14]
Dari kedua pengertian itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa at-tarbiyah adalah proses pembinaan dengan pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk, yaitu untuk mengaktifkan segala potensi yang ada dan untuk membumbuhkan kreativitas berfikir untuk memperoleh kesimpulan akal yang dibarengi dengan kontrol diri dalam menjaga kesucian jiwa.

B.       Dasar-dasar Pendidikan Islam
Konsep dasar yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam, pada dasarnya sama dengan pedoman hidup umat Islam. Dasar acuan tersebut harus merupakan nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan. Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang bersifat universal dan dapat dikonsumsikan untuk keseluruhan aspek kehidupan manusia, serta merupakan standard nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan.
Dasar pendidikan Islam menurut Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib mempunyai dua segi, yaitu dasar ideal dan dasar operasional, yang dikutip dari Dr. Said Ismail Ali berpendapat bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu :
Ø  Al-Qur’an,
Ø  Sunnah Nabi Muhammad saw
Ø  Madzhab Sahabi (kata-kata sahabat)
Ø  Kemaslahatan Masyarakat (Maslahah Mursalah)
Ø  Nilai-nilai dan Adat Istiadat Masyarakat (Urf)
Ø  Hasil Pemikiran Muslim (Ijtihad).[15]

C.  Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sadar dan bertujuan dan Allah telah meletakkan asas-asasnya bagi seluruh manusia di dalam syariat Islam. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan ini sudah barang tentu menjadi sasaran idealitas pendidikan Islam.
Menurut Drs. Muhaimin, M.A., untuk meraih tujuan yang sesuai dengan idealitas pendidikan Islam, maka manusia diberi tugas oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya.[16]
Sebagaimana disebutkan dalam surat adz-Dzariat ayat 56, Allah SWT ber-firman :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56).[17]

D.    Pengetahuan Rasional dalam Pendidikan Islam
Sebelum membicarakan pengetahuan rasional maka penulis mengemukakan pendapat Harun Nasution tentang epistemologi. Epistemologi sebagai filsafat pengetahuan menurut Harun Nasution adalah ilmu yang membahas apa itu pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan.[18]
Sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain, akal.[19]
Pengetahuan itu akan menjadi problem atau masalah apabila dikaitkan dalam permasalahan agama. Karena berkaitan dengan keimanan atau kepercayaan. Oleh karena itu, Harun Nasution membagi pengetahuan umum dan pengetahuan agama
Dengan perbandingan yang jelas bahwa akal bekerja dalam lapangan apapun, tetapi dalam agama, akal adalah di bawah wahyu, walaupun demikian akal sangat membantu dalam penafsiran wahyu, pembaktian wahyu dan argumen-argumen kepercayaan dalam agama. Pengertian pengetahuan ilmiah (umum) adalah pengetahuan yang didapat dari pengalaman, kerja akal atau observasi, dan eksperimen yang merupakan satu kesatuan sehingga menghasilkan kesimpulan memadai. Sedangkan pengetahuan agama dalah suatu apresiasi teks agama, dalam arti agama yang dimiliki merupakan ajaran yang harus dibuktikan secara rasional sebagaimana Nabi Muhammad saw yang membawa al-Qur’an harus dibuktikan secara historis. Agama juga memerlukan argumen-argumen rasional dalam memperoleh pengetahuan keagamaan. Disamping pengetahuan agama juga memerlukan pembuktian secara pribadi nyata atau eksperimental terutama tentang pembuktian adanya Tuhan. Pengalaman tersebut bukan hanya dialami oleh satu, dua orang akan tetapi terbukti secara umum. [20]
Pengetahuan rasional berpijak pada kemurnian dari pemikiran yang bersumber dari rasio atau akal. Dalam pendidikan, biasanya ditanamkan pola pikir yang bersifat logis, dengan harapan anak didik dapat berfikir sesuai dengan kadar atau kemampuan akal dalam mengajukan suatu persoalan dan berusaha memenuhi solusi yang dapat diterima oleh akal.
Menanamkan pengetahuan rasional dalam dunia pendidikan adalah salah satu cara menumbuhkan pola pikir pada diri anak didik ke dalam dunia keintelektualan, tentunya tanpa ada unsur paksaan. Karena intelegensi (kecerdasan) anak didik akan muncul sendiri tanpa disadar oleh seorang pendidik. Ini merupakan daya respon anak didik ketika menerima materi pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Mencerdaskan akal merupakan hasil penanaman pengetahuan rasional dalam pendidikan. Dalam pendidikan Islam, mencerdaskan akal merupakan pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan ini merupakan bagian dari tujuan pendidikan akal (ahdaf al-aqliyah) dalam pendidikan Islam.[21]
Hal ini sejalan dengan seruan Islam melalui al-Qur’an dan as-Sunnah kepada manusia untuk mempergunakan akal dan perintah untuk berfikir. Abdurrahman al-Baghdadi menulis “tujuan pendidikan Islam adalah mencerdasakan akal dan membentuk jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.”[22]
Jadi aspek akal menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan Islam dan pembentukan jiwa yang islami merupakan interpretasi pengetahuan rasional dalam sistem pendidikan Islam.





BAB IV
Kesimpulan
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi atau pikiran.Pemikiran yang hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani Kuno untuk pertama kalinya pada abad ke 6 M.
Rasio, dalam pendidikan erat hubungannya dengan  daya pikir,penalaran dan  akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio  tanpa dibedakan dari  penalaran , adalah kemampuan mental manusia yang bukan kemampuan  daya tanggap panca indera.
Sedangkan  pendidikan d ari segi bahasa: pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal,cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya
Konsep dasar yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam, pada dasarnya sama dengan pedoman hidup umat Islam. Dasar acuan tersebut harus merupakan nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan.













DAFTAR PUSTAKA

-Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Al-Izah, Banjil, 1996.,

-Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang1973)
-Drs. Muhaimin, M.A., Konsep Pendidikan Islam, Sebuah telaah -Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo, 1991,
-Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
-Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut, Darul Fikr, Juz I,
-Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Terj) Herry Noan Ali, Diponegoro, Bandung, 1992,

-Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan,( Yogyakarta:Aditya Media, , 1992)

-Drs. Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,( Jakarya : Kalam Mulia 1986),
-Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,( Bandung Trigenda Karya,1993)

-Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI (Jakarta, Press, Cet. Vi, 1986)
-Frans Magnis Suseno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980,
-Zainal Abidin, Filsafat Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, (Bandung :PT. Remaja Rosda Karya)
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, PT. Gramedia, Jakarta, 1983
-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedia  Nasional Indonesia,( Jakarta :PT. Cipta Adi Pustaka, 1994)





[1] .Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedia  Nasional Indonesia, , (Jakarta:PT. Cipta Adi Pustaka, 1994), hlm, 102

[2] . Zainal Abidin, Filsafat Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), hlm. 37

[3] Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia), 1983, hlm.124

[4] . Frans Magnis Suseno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 18

[5] QS. AlMaidah [5]: 44. “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah ditentukan Allah, adalah kafir.

[6] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perkembangan, op. cit., hlm. 7.

[7] Harun Nasution, Islam Rasional, op. cit., hlm. 127.

[8] Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,( Jakarta: UI Press, Cet. Vi, 1986), hlm. 46.
[9] Poerwadarminta, Ibid., hlm. 250
[10] Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung :Trigenda Karya, 1993), hlm. 127.

[11] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Terj) Herry Noan Ali, Diponegoro, , 1992, hlm. 37.
[12] Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta :Aditya Media, 1992), hlm. 14-15
[13] Drs. Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarya: Kalam Mulia,1986), hlm. 4.
[14] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut, Darul Fikr, Juz I, hlm. 30.
[15] Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs., Abdul Mujib, Op.Cit.hlm. 145
[16] Drs. Muhaimin, M.A., Konsep Pendidikan Islam, Sebuah telaah Komponen Dasar Kurikulum, (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 26
[17] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid.,  hlm. 862
[18] Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 7.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 12
[21] Op,Cit.Athiyah al-Abrasyi, Ibid., hlm. 7.
[22] )  Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam,(Al-Izah, Banjil, 1996.) hlm. 30