BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada abad ke 13 di eropa sudah timbul system
pilsafat yang boleh disebut merupakan keseluruhan.sistem ini diajarkan
disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada abad ke 14 timbulah aliran yang
dapat dinamai pendahulunya pilsfat modern. Yang menjadi dasar aliran ini adalah
kesadaran atas yang individual yang kongkrit.
Tak
dapat dipungkiri zaman pilsafat modern telah dimulai,dalam era pilsafat modern,
dan kemudian dilanjutkan dengan pilsafat abad ke 20 munculnya berbagai aliran pemikiran, salah satunya
aliran Rasinalisme yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini
B. Rumusan masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas
dalam proses penyusunan makalah ini adalah Rasionalisme dalam
pendidikan islam
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan,
maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
Pengertian Rasionalisme,Sejarah pemikira
Rasionalisme, Rasionalisme dalam Filsafat
Islam, Pengertian Pendidikan Islam,Dasar-dasar Pendidikan Islam Tujuan Pendidikan Islam, Pengetahuan
Rasional dalam Pendidikan Islam
BAB II
A. Rasionalisme
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio
padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi atau pikiran.Pemikiran
yang hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani
Kuno untuk pertama kalinya pada abad ke 6 M.[1]
Rasio, dalam pendidikan, erat hubungannya dengan daya pikir,penalaran dan
akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio tanpa
dibedakan dari penalaran , adalah kemampuan mental manusia yang
bukan kemampuan daya tanggap panca indera.
Dalam proses berpikir, rasio dan akal budi atau daya
pikir saling mempengaruhi meskipun masing-masing memiliki fungsi berbeda. Daya
tanggap mengambil alih kegiatan berpikir runtut tentang berbagai
bukti pemikiran, yang kemudian masing-masing saling dihubungkan, dianalisis,
dan dimengerti. Dalam hal ini rasio lebih mengarah pada realitas secara
keseluruhan membentuk pengertian, dan berusaha membuat kaitan arti. Pengetahuan mengenai hubungan-hubungan
persyaratan, kecerdasan dan intelegensi termasuk dalam daya pikir,
sedangkan sikap hati-hati, kebijaksanaan, dan pengertian diperlukan dalam rasio.
Meskipun daya tanggap sebagai intelegensi teoritis dan praktis
sangat diperlukan manusia, serta daya tanggap sehat manusia juga
dihargai di luar ajaran ilmu pengetahuan, kadang-kadang daya tanggap
menghasilkan kesan buruk, di mana dalam berbagai lairan irasional yang
sebagian besar tidak membedakan rasio dan daya tanggap, rasio
dipertentangkan dengan jiwa.
Satu-satunya makhluk hidup yang dipandang paling tinggi (derajatnya),
yakni manusia, dianggap memiliki jiwa rasional. Dengan jiwa
rasionalnya, manusia mempu berpikir secara sadar, membuat norma sosial,
serta menyusun kebijakan-kebijakan moral.[2]
Pemikiran rasional adalah pemikiran yang merupakan usaha manusia rasional
dalam rangka melepaskan diri dari mitos. Dalam pengertian ini mitos dilawankan
dengan logos(akal budi, rasio). Maka dapat dikatakan bahwa mitos itu
adalah keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak
berada dalam kontrol kesadaran dan rasio manusia.[3]
Filsafat lahir ketika manusia pertama kalinya berusaha menghilangkan mitos
dan menggantinya dengan logos. Sebab usaha manusia rasional dimaksudkan sebagai
usaha manuisa untuk meraih pengertian rasioal. Dengan kata lain sejak semula
usaha manusia rasional bermaksud untuk menghilangkan mitos.
Rasionalisme adalah aliran, anggapan, atau teori filsafat yang menjunjung
tinggi hasil pemikiran manusia tanpa memperdulikan pengalaman pribadi, fakta
dan data empiris. Berdasarkan teori ini dapat dinyatakan bahwa pengetahuan
manusia terbentuk dan terjadi dari akal atau rasio. Dalam hal ini, sumbangan
yang dihasilkan oleh akal lebih menentukan dari pada sumbangan yang diberikan
indera. Bahkan lebih jauh lagi kadang-kadang para penganut rasionalisme
beranggapan bahwa pengetahuan manusia tergantung pada strukur bawaan (ide,
kategori). Artinya konsep-konsep yang diperoleh pikiran manusia sejak ia
dilahirkan di dunia, biarpun hanya sebagai bakat atau kemungkinan.
Benih-benih munculnya aliran rasionalisme dalam sejarah filsafat, sebenar
nya dapat diacu dari pandangan yang mengatakan bahwa pikiran itu lengkap
sepenuhnya pada diri sendiri. Pandangan inilah yang dikemudian hari
mempengaruhi munculnya aliran neoplatonisme dan idealisme.
Yang memberi dasar kepada
rasionalisme ini adalah Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650),
Yang juga disebut “Bapak Filsafat Modern”.[4]
Dalam hal ini, Descartes dalam mencari kebenaran filsafat dengan
menggunakan metode Cogito. Mengenai hal ini tidak ada seorang pun yang
dapat menipu kita, bahwa keraguan yang ada pada diri manusia bukanlah khayalan
melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau akau berpikir dan oleh karena aku
berpikir, maka aku ada. Aku berada karena aku berpikir, suatu substansi yang
seluruh tabiat dan hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak
memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi. Cogito (aku
berpikir) adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas dan
terpilah-pilah. Ciri khas kebenaran yang dapat dipastikan adalah jelas dan
terpilah-pilah.
B. Sejarah Pemikiran Rasional dalam Islam
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran
dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk
agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama
yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan
yang ber-dasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh
peredaran zaman
peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menimbulkan perpecahan umat Islam
menjadi dua golongan: Lahirnya aliran-aliran dalam Islam karena adanya
per-soalan-persoalan teologi yang diawali adanya persoalah politik yang terjadi
dalam pemerintahan Islam setelah Rasulullah wafat. Sebagai bukti sejarah adalah
peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada tahun 656 M, di
Madinah
Dalam bidang teologi, peristiwa Utsman bin
Affan itu menimbulkan masalah iman dan kufur. Pertikaian yang terjadi antara
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
keempat dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damsyik, menganggap Ali
bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman bin Affan. Kedua pemimpin tersebut
mencoba menyelesaikan pertikaian dengan jalan damai yaitu jalan hukum
(arbitrase) yang biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.
Dalam hal ini, Khawarij memandang bahwa Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, Amr ibn al-Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima
arbitrase adalah kafir. Karena dalam menyelesaikan persengketaaan tidak meng-gunakan
jalan teologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi hukum zaman Jahiliyah.
Dan dikatakan oleh kaum Khawarij keempatnya telah menyimpang dari hukum Allah
yaitu menyisihkan surat al-Maidah ayat 44 :



Harun Nasution dalam hal ini, berpendapat bahwa“Dari
ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena
keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka
telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka
kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi
menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali ibn Abi Thalib yang
berhasil tugasnya.[6]
Khawarij memahami ayat tersebut sebagai suatu ketentuan mutlak bagi keempat
pemuda yang mengadakan arbitrase, yaitu tidak menentukan hukum sesuai dengan
apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an adalah suatu perbuatan
dosa besar.
Persoalan orang berbuat dosa besar inilah yang melahirkan tiga aliran
teologi besar dalam Islam, Pertama, aliran Khawarij yang menyatakan
orang berbuat dosa besar adalah kafir atau murtad (apostate).[7]
Dan suatu kewajiban bagi orang Islam
untuk memerangi atau membunuhnya.
C. Rasionalisme dalam Filsafat Islam
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal
pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya. Pendekatan filosofis yang cocok dalam mempergunakan
akal pikiran adalah pendekatan rasional.
Pemikiran filosofis masuk ke
dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di
Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan falsafat Yunani datang ke
daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung pada abad ke IV sebelum
Kristen.
Dan filsafat ini mulai
ber-kembang dengan pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra Harun
al-Rasyid
Dalam sejarah filsafat Islam terdapat perkembangan tentang istilah rasionalisme.
Rasionalisme Islam adalah suatu fenomena penggunaan akal sebagai sumber
pengetahuan. Dalam filsafat Barat rasionalisme adalah aliran secara independen
berdiri sebagai tesa terdahap perkembangan filsafat. Akan tetapi dalam filsafat
Islam. Rasionalisme dipahami semata-mata dari sudut penggunaan akal dalam
epistemologi.[8]
BAB III
A. Pengertian Pendidikan Islam
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal,cara dan
sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.[9]
Dalam konteks
Islam, istilah “pendidikan” lebih banyak dikenal dengan menggunakan term “at-tarbiyah,
at-ta’lim, at-ta’dib dan ar-riyadha”. Term-term tersebut kalau dilihat teks
dan konteksnya mempunyai makna yang berbeda, meskipun dalam hal-hal tertentu
mempunyai kesamaan makna.
Drs. Muhaimin, M.A. dan Drs. Abdul Mujib dalam mem-berikan sebuah formulasi
pendidikan Islam sebagai berikut :
Formulasi hakikat pendidikan Islam tidak boleh
dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam
penggalian khazanah keilmuan apa pun. Dengan berpijak pada kedua sumber itu
diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakikat pendidikan Islam”[10]
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, lafal at-Tarbiyah berasal dari tiga kata
yaitu: pertama, raba - yarbu, yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiyu
- yarbu dengan wazan (bentuk) khafiya - yakhfa, berarti menjadi besar. Ketiga,
rabba - yarubba dengan wazan madda - yamuddu, berarti memperbaiki, menuntun,
menjaga dan memelihara.[11]
Abdurrahman al-Bani menerangkan lebih lengkap sebagai-mana yang dikutip
oleh Ahmadi yaitu; ditinjau dari asal bahasanya, istilah tarbiyah mencakup
empat unsur yaitu :
1. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.
2. Mengembangkan potensi di kalangan manusia yang
beraneka macam (terutama akal budinya).
3. Mengarahkan fitrah dan potensi manusia menuju
kesempur-naannya.
Berkaitan dengan ini Drs. Syahminan Zaini menjelaskan bahwa :
“Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah
manusia dengan ajaran Islam, agar terwujud (tercapai) kehidupan masyarakat yang
makmur dan bahagia.[13]
At-Tarbiyah” diartikan oleh Musthafa al-Maraghi dengan dua bagian, yaitu
1. Tarbiyah khalqyah, pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal
dengan berbagai petunjuk.
2. Tarbiyah Diniyah Tahdzibiyah, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk
kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.[14]
Dari kedua pengertian itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa at-tarbiyah
adalah proses pembinaan dengan pengembangan potensi manusia melalui pemberian
berbagai petunjuk, yaitu untuk mengaktifkan segala potensi yang ada dan untuk
membumbuhkan kreativitas berfikir untuk memperoleh kesimpulan akal yang
dibarengi dengan kontrol diri dalam menjaga kesucian jiwa.
B.
Dasar-dasar Pendidikan Islam
Konsep dasar yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam, pada dasarnya sama
dengan pedoman hidup umat Islam. Dasar acuan tersebut harus merupakan nilai
kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang
dicita-citakan. Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang bersifat
universal dan dapat dikonsumsikan untuk keseluruhan aspek kehidupan manusia,
serta merupakan standard nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan.
Dasar pendidikan Islam menurut Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib
mempunyai dua segi, yaitu dasar ideal dan dasar operasional, yang dikutip dari
Dr. Said Ismail Ali berpendapat bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri atas
enam macam, yaitu :
Ø Al-Qur’an,
Ø Sunnah Nabi Muhammad saw
Ø Madzhab Sahabi (kata-kata sahabat)
Ø Kemaslahatan Masyarakat (Maslahah Mursalah)
Ø Nilai-nilai dan Adat Istiadat Masyarakat (Urf)
C. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sadar dan bertujuan dan Allah telah
meletakkan asas-asasnya bagi seluruh manusia di dalam syariat Islam. Tujuan
hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan ini sudah barang tentu menjadi sasaran idealitas pendidikan Islam.
Menurut Drs. Muhaimin, M.A., untuk meraih tujuan yang sesuai dengan
idealitas pendidikan Islam, maka manusia diberi tugas oleh Allah untuk mengabdi
kepada-Nya.[16]
Sebagaimana disebutkan dalam surat adz-Dzariat ayat 56, Allah SWT
ber-firman :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah
D.
Pengetahuan
Rasional dalam Pendidikan Islam
Sebelum membicarakan pengetahuan rasional maka penulis mengemukakan
pendapat Harun Nasution tentang epistemologi. Epistemologi sebagai filsafat
pengetahuan menurut Harun Nasution adalah ilmu yang membahas apa itu
pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan.[18]
Sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah keadaan mental (mental state).
Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata
lain, akal.[19]
Pengetahuan itu akan menjadi problem atau masalah apabila dikaitkan dalam
permasalahan agama. Karena berkaitan dengan keimanan atau kepercayaan. Oleh
karena itu, Harun Nasution membagi pengetahuan umum dan pengetahuan agama
Dengan perbandingan yang jelas bahwa akal bekerja dalam lapangan apapun,
tetapi dalam agama, akal adalah di bawah wahyu, walaupun demikian akal sangat
membantu dalam penafsiran wahyu, pembaktian wahyu dan argumen-argumen
kepercayaan dalam agama. Pengertian pengetahuan ilmiah (umum) adalah
pengetahuan yang didapat dari pengalaman, kerja akal atau observasi, dan
eksperimen yang merupakan satu kesatuan sehingga menghasilkan kesimpulan
memadai. Sedangkan pengetahuan agama dalah suatu apresiasi teks agama, dalam
arti agama yang dimiliki merupakan ajaran yang harus dibuktikan secara rasional
sebagaimana Nabi Muhammad saw yang membawa al-Qur’an harus dibuktikan secara
historis. Agama juga memerlukan argumen-argumen rasional dalam memperoleh
pengetahuan keagamaan. Disamping pengetahuan agama juga memerlukan pembuktian secara
pribadi nyata atau eksperimental terutama tentang pembuktian adanya Tuhan.
Pengalaman tersebut bukan hanya dialami oleh satu, dua orang akan tetapi
terbukti secara umum. [20]
Pengetahuan rasional berpijak pada kemurnian dari pemikiran yang bersumber
dari rasio atau akal. Dalam pendidikan, biasanya ditanamkan pola pikir yang
bersifat logis, dengan harapan anak didik dapat berfikir sesuai dengan kadar
atau kemampuan akal dalam mengajukan suatu persoalan dan berusaha memenuhi
solusi yang dapat diterima oleh akal.
Menanamkan pengetahuan rasional dalam dunia pendidikan adalah salah satu
cara menumbuhkan pola pikir pada diri anak didik ke dalam dunia
keintelektualan, tentunya tanpa ada unsur paksaan. Karena intelegensi
(kecerdasan) anak didik akan muncul sendiri tanpa disadar oleh seorang
pendidik. Ini merupakan daya respon anak didik ketika menerima materi
pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Mencerdaskan akal merupakan hasil penanaman pengetahuan rasional dalam
pendidikan. Dalam pendidikan Islam, mencerdaskan akal merupakan pengarahan
intelegensi untuk menemukan kebenaran dan ini merupakan bagian dari tujuan
pendidikan akal (ahdaf al-aqliyah) dalam pendidikan Islam.[21]
Hal ini sejalan dengan seruan Islam melalui al-Qur’an dan as-Sunnah kepada
manusia untuk mempergunakan akal dan perintah untuk berfikir. Abdurrahman
al-Baghdadi menulis “tujuan pendidikan Islam adalah mencerdasakan akal dan
membentuk jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim sejati
yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.”[22]
Jadi aspek akal menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan Islam dan
pembentukan jiwa yang islami merupakan interpretasi pengetahuan rasional dalam
sistem pendidikan Islam.
BAB IV
Kesimpulan
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio
padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi atau pikiran.Pemikiran
yang hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani
Kuno untuk pertama kalinya pada abad ke 6 M.
Rasio, dalam pendidikan erat
hubungannya dengan daya pikir,penalaran dan akal budi.
Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio tanpa dibedakan
dari penalaran , adalah kemampuan mental manusia yang bukan
kemampuan daya tanggap panca indera.
Sedangkan pendidikan d ari segi bahasa: pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal,cara dan
sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya
Konsep dasar yang menjadi acuan dalam pendidikan
Islam, pada dasarnya sama dengan pedoman hidup umat Islam. Dasar acuan tersebut
harus merupakan nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada
aktivitas yang dicita-citakan.
DAFTAR
PUSTAKA
-Abdurrahman
al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Al-Izah, Banjil,
1996.,
-Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan
Bintang1973)
-Drs. Muhaimin,
M.A., Konsep Pendidikan Islam, Sebuah telaah -Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani,
Solo, 1991,
-Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
-Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut,
Darul Fikr, Juz I,
-Abdurrahman
an-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Terj) Herry Noan
Ali, Diponegoro, Bandung, 1992,
-Achmadi, Islam
sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan,( Yogyakarta:Aditya Media, , 1992)
-Drs. Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar
Konsepsi Pendidikan Islam,( Jakarya : Kalam Mulia 1986),
-Drs. Muhaimin,
M.A., dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya,( Bandung Trigenda Karya,1993)
-Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI (Jakarta, Press, Cet. Vi, 1986)
-Frans Magnis
Suseno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980,
-Zainal Abidin, Filsafat
Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, (Bandung :PT. Remaja Rosda Karya)
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, PT.
Gramedia, Jakarta, 1983
-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedia Nasional
Indonesia,( Jakarta :PT. Cipta Adi Pustaka, 1994)
[1] .Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Ensiklopedia Nasional Indonesia, , (Jakarta:PT. Cipta Adi Pustaka, 1994), hlm, 102
[2] . Zainal Abidin, Filsafat
Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), hlm. 37
[5] QS. AlMaidah [5]: 44. “Siapa
yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah ditentukan Allah, adalah
kafir.”
[8]
Prof.
DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,( Jakarta: UI
Press, Cet. Vi, 1986), hlm.
46.
[10] Drs. Muhaimin, M.A., dan
Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya, (Bandung :Trigenda Karya, 1993), hlm. 127.
[11]
Abdurrahman
an-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Terj) Herry Noan
Ali, Diponegoro, , 1992, hlm. 37.
[13]
Drs.
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarya: Kalam
Mulia,1986), hlm. 4.
[16]
Drs.
Muhaimin, M.A., Konsep Pendidikan Islam, Sebuah telaah Komponen Dasar
Kurikulum, (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 26
[22] ) Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam,(Al-Izah, Banjil, 1996.) hlm. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar